1. Yang
dimaksud dengan antropologi perkotaan adalah :
Kota merupakan ruang
sentra kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang maupun
pendekatan keilmuan. Kehidupan masyarakat di wilayah perkotaan termanifestasi
dalam perilaku, tindakan, maupun aktivitas kehidupan menjadi akses telaah
antropologis. Kehidupan masyarakat juga dapat dilihat dari aspek fisik
perkotaan yang akan memberik an kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya
(manusia dan struktur sosialnya).
Antropologi Perkotaan
berasal dari dua istilah atau konsep, yaitu antropologi dan perkotaan. Makna
dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan-pendekatan
antropologi mengenai berbagai problematika kehidupan manusia sebagai kesatuan
sosieti (masyarakat) maupun komuniti di wilayah perkotaan.
2. Pengertian
dari kota
Dalam peradaban
modern, dominasi kota telah diidentifikasikan dengan dua fenomena. Pertama,
kontak desa dan kota telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila
dibandingkan dengan sebelumnya. Kedua, penduduk kota semakin besar bila
dibandingkan dengan desa.
a. Pengertian
Kota adalah :
Kota adalah pusat
kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan.
Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau
masyarakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan
berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun
antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan
memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur
sosialnya).
1) Antropologi
Perkotaan
Antropologi perkotaan
berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu antropologi dan perkotaan.
Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah
pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan. Yang
dimaksud dengan pendekatan-pendekatan antropologi adalah pendekatan-pendekatan
yang baku yang menjadi ciri-ciri dari metodologi yang ada dalam antropologi,
dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalah-masalah perkotaan adalah
masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan kota dan yang
menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari ciri-ciri
kehidupan desa.
Kota dengan demikian
diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan
permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga
sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri.
Di Indonesia,
kota merupakan pemukiman yang terdiri dari berbagai karakteristik, terutama
yang formal dan dapat dibedakan antara satu kota dengan tipe kota yang lain.
Ada kota yang disebut sebagai berikut:
1) Kotapraja
atau Kotamadya. Di samping sejumlah tipe kota lainnya, paling umum ditemui
kota-kota yang menjadi ibukota propinsi di seluruh Indonesia adalah kotamadya.
Secara administratif ia setingkat dengan daerah kabupaten (dahulu dikenal juga
istilah daerah tingkat dua). Tipe kota ini dipimpin oleh seorang walikota yang
dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya bersangkutan.
2) Kota
administratif yaitu tipe kota yang secara administratif sudah mempunyai
walikota sendiri yang diangkat oleh pejabat berwenang, namun tidak memiliki
dewan legislatif sendiri. Kota ini merupakan kota peralihan.
3) Kota
kabupaten. Semua ibukota daerah kabupaten, kecuali yang berstatus kotamadya.
4) Kota
kecamatan, yaitu permukiman yang menjadi ibu negeri (kota) wilayah kecamatan.
5) Permukiman
yang karena fungsinya dapat dianggap sebagai kota seperti pasar harian dan atau
pekan (mingguan).
b. Pengertian
Desa adalah
Desa
dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat universal,
terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat
pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun
bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor
pertanian. Pengertian Desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian.
Misalnya, Egon E. Bergel (1955: 121), mendefinisikan desa sebagai “setiap
pemukiman para petani (peasants)”. Sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri
yang harus melekat pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada setiap desa
adalah fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok
masyarakat yang relatif kecil. Sementara
itu Koentjaraningrat (1977) memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan
pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota,
negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga
dan sebagainya). Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai
“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat” (1977:162).
Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan bahwa komunitas desa secara khusus
tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat
desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas
ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.
Selanjutnya,
menurut Paul H. Landis (1948:12-13), seorang sarjana sosiologi perdesaan dari
Amerika Serikat, mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga
pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan analisis statistik,
desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500
orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu
lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal di
antara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomi, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada
pertanian.
Menurut
Bergel istilah desa (village) dapat diterapkan untuk dua pengertian. Pertama,
desa diartikan sebagai setiap pemukiman para petani, terlepas dari ukuran
besar-kecilnya. Kedua, terdapat juga desa-desa perdagangan. Yang dimaksud desa
perdagangan tidak berarti bahwa seluruh penduduk desa terlibat dalam kegiatan
perdagangan, melainkan hanya sejumlah orang saja dari desa itu yang memiliki
mata pencahariaan dalam bidang perdagangan.
Kita
juga perlu memahami dalam hal apa istilah desa cocok digunakan dan kapan pula
menggunakan istilah perdesaan. Istilah perdesaan merujuk pada suatu daerah desa
dan sekitarnya, atau padanan kata rural di dalam bahasa Inggris. Dalam
pemakaian sehari-hari istilah perdesaan atau rural itu mudah memahaminya.
Tetapi, jika harus didefinisikan, ternyata sukar juga merumuskan pengertiannya
secara khusus. Antara istilah desa danperdesaan berbeda-beda dalam kedua bahasa
tersebut. Perbedaan konsep tersebut dapat ditinjau dari berbagai tempat
berpijak. Desa dan perdesaan misalnya, akan terlihat jelas bila keduanya
diperbandingkan dengan kota dan perkotaan
Tipologi
desa menurut Undang-Undang No.5/1975 tersebut dimulai dengan bentuk (pola) yang
paling sederhana sampai bentuk permukiman yang paling kompleks namun masih
tetap dikategorikan sebagai permukiman dalam bentuk desa. Bentuk yang paling
sederhana disebut sebagai permukiman sementara, misalnya hanya tempat
persinggahan dalam satu perjalanan menurut kebiasaan orang-orang yang sering
berpindah-pindah.
1) Pra
Desa (Pra-Desa) merupakan tipologi desa paling sederhana disebut juga sebagai
permukiman sementara, misalnya hanya dijadikan sebagai tempat persinggahan
dalam satu perjalanan menurut kebiasaan orang-orang yang sering
berpindah-pindah
2) Desa
Swadaya merupakan tipe atau bentuk desa yang berada pada tingkat yang lebih
berkembang dari tipe pra-desa. Desa ini bersifat sedenter, artinya sudah ada
kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap di sana
3) Desa
Swakarya merupakan tipe desa ketiga yang tingkatannya dianggap lebih berkembang
lagi dibandingkan desa swadaya. Adat yang merupakan tatanan hidup bermasyarakat
sudah mulai mendapatkan
perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan
sosial budaya lainnya. Adopsi teknologi tertentu sering merupakan salah satu
sumber perubahan itu. Adat tidak lagi terlalu ketat mempengaruhi pola kehidupan
anggota masyarakat.
4) Desa
Swasembada merupakan tipe desa keempat yakni pola desa yang terbaik dan lebih
berkembang dibandingkan tipe-tipe desa terdahulu. Prasarana desa sudah baik,
beraspal dan terpelihara pula dengan baik. Warganya telah memiliki pendidikan
setingkat dengan sekolah menengah lanjuatan atas. Mata pencaharian sudah amat
bervariasi dan tidak lagi berpegang teguh pada usaha tani yang diusahakan
sendiri. Masyarakat tidak lagi berpegang teguh dengan adatnya tetapi ketaatan
kepada syariat agama terus berkembang sejalan dengan perbaikan pendidikan
3. Tentang
Problematika utama dalam kehidupan masyarakat perkotaan
Permasalahan perkotaan
yang menjadi sasaran kajian antropologi perkotaan berpangkal pada kebudayaan
perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota. Dari
kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata sosial tersebut, kehidupan
sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti, ekonomi, hubungan antar
sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial,
hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan, kekumuhan, permasalahan
permukiman, rumah, hunian serta berbagai masalah lain itu dilihat
keberadaannya, hakekatnya, dan kecenderungan-kecenderungannya sebagai mengacu
pada kondisi-kondisi kota yang merupakan lingkungan hidup perkotaan.
Problematika perkotaan
dimaksud merupakan permasalahan yang
muncul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat kota, dan sekaligus menjadi
ciri dari keberadaan kota itu sendiri yang membedakannva dengan kehidupan
masyarakat di wilayah perdesaan. Dalam peradaban modern, dominasi kota terhadap
masyarakat perdesaan telah di identifikasikan dengan dua fenomena. Pertama,
kontak desa dan kota telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan
dengan sebelumnya. Kedua, penduduk kota semakin besar bila dibandingkan dengan
desa. Persoalan yang lebih kompleks dan sulit diketahui memicu keunggulan
masyarakat perkotaan dari pada orang desa secara kualitas maupun kuantitas.
Dimaksud kualitas di sini adalah kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat guna meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya.
Sementara yang dimaksud dengan kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga
pranata, dan sarana lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
anggotanya.
Ada
beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:
Ø Kehidupan
keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
Ø Orang
kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada
orang lain.
Ø Pembagian
kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang
nyata.
Ø Kemungkinan-kemungkinan
untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada
warga desa.
Ø Jalan
pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan
bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan
daripada faktor pribadi.
Ø Perubahan-perubahan
sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab masyarakat kota biasanya lebih
terbuka dalam menerima hal-hal baru.
Kondisi-kondisi yang
diperlukan bagi suatu kota (city) ada enam :
Ø Pembagian
kerja dalam spesialisasi yang jelas
Ø Organisasi
sosial leboh berdasarkan pekerjaan dan kelas sosialdari pada kekeluargaan
Ø Lembaga
pemerintahan lebih berdasarkan teritorium dari pada kekeluargaan
Ø Suatu
sistem perdagangan dan pertukangan
Ø Mempunyai
sarana komunikasi dan dokumentasi
a. Berteknologi
yang rasional
Makin besar pertambahan
penduduk, makin menjadi jelas corak kekotaan suatu tempat. Dalam rangka
urbanisasi, ini tampaknya dipedesaan yang letaknya mengelilingi kota-kota.
Disitu kepadatan penduduk mendorong manusia mencari nafkah dari bidang
non-agraris seperti perdagangan, industri, dan perkantoran. Ikatan sosial
berdasarkan tradisi menjadi lemah, luntur atau menghilang. Dengan demikian
perubahan-perubahan tersebut mengubah ikatan antar manusia, begitu pula
bentuk-bentuk kehidupan dan pertanyaan serta sikap rohaninya.
Secara
umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan seharusnya mengandung lima
unsur yang meliputi:
Ø Wisma
Ø Karya
Ø Marga
Ø Suku
Ø Penyempurnaan
b. Masyarakat
Kota Sebagai Community
Adalah suatu kelompok
teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup
sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi
kelompok manusia, 2. menempati suatu wilayah geografis, 3. mengenal pembagian
kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung, 4.
memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka, 5.
para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community, dan
6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. Hal ini dapat
diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat
jenis community: Rural, Fringe (pinggiran), Town, dan Metropolis.
c. Peradaban
Kota
Secara lebih khusus,
”peradaban” dapat juga dirimuskan sebagai tingkat kemampuan seseorang atau
masyarakat untuk menciptakan atau merumuskan ketentuan-ketentuan bagi
pengaturan tata kehidupannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosial maupun
lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk
mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu. Maka komunitas kota dapat
dikatakan memiliki peradaban yang lebih tinggi, bukan kebudayaan. Komunitas
kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional
sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi “relation
oriented”. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga
masing-masing harus mencari jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup.
Karena banyaknya dan
bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota
masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian (achievement) maka gaya
hidup masyarakat kota lebih diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik
sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas kota adalah adanya
kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana
individu kehilangan identitas pribadinya.
Tapi, di balik apa yang
dikemukakan di atas, terdapat pandangan yang melihat kota sebagai mempunyai
peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat umum dan bangsa. Karena kota
merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban maka
kehidupan kota dapat membawa dan mengarahkan kehidupan masyarakat umum kepada
peningkatan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sebanding dengan arti
“sivilitas” yang berarti kualitas tertinggi pada masyarakat manusia.
Sekularisasi mencapai
puncaknya dalam masyarakat modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang
perilaku, dan meluas ke kalangan penduduk. Pendekatan kehidupan kota sebagai
jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk memperoleh pengertian yang
jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses kemajuan dan atau kemunduran
kehidupan dan peradaban kota.
d. Kota
dan Kelompok Kerabat
Sejalan dengan
berkembangnya kota, terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan
sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka
organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi
organisasi regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dipenuhi,
kalau tidak mau tenggelam dalam situasi anomik, individualisme, dan
lain-lainnya yang bersifat disintegratif. Dengan kata lain alasan-alasan
fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena asosiasi ini dapat
berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif dalam kota-kota yang
besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk memodernisasi dan
menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu
perasaan persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun
jabatan. Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status
“urban” yang dibedakan dari status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas,
bukannya kesadaran kesukuan.
e. Kota
dan Kemiskinan
Salah satu masalah yang
mendapat sorotan dari para antropolog adalah masalah kemiskinan yang dialami
oleh golongan tertentu dalam kota-kota besar. Budaya kemiskinan (culture of
poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat
integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan
partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya. Munculnya budaya khusus
tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan
kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan
sebagai berikut: - kemiskinan yang bersifat cultural, - kemiskinan dan budaya
dua-duanya terletak dalam lingkaran setan, dan - orang miskin dapat disosialisasikan
pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan
baginya.
Kemudian ada lima jenis
kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan: a) Sikap laisser
fair, pemerintah membiarkan dibangunan perumahan liar mengikuti permainan
ekonomi, b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya
gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c) Pendekatan sesisi (partial
approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang
mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit, d) Total
approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran
perumahan untuk kaum ekonomi lemah, dan e) Pendekatan progresif (progresisive
approach), pemecahan bersama penghuninya.
f. Urbanisasi
PJM. Nas (1979:42),
berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh
perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang
dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris
maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak
memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan
pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial,
maupun sosial-psikologis”.
Penelitian urbanisasi
itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut :
Arus perpindahan penduduk dari desa ke
kota.
Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja
non agraris di sektor industri dan sektor tersier.
Tumbuhnya pemukiman menjadi kota.
Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah
pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi.
Tetapi pada umumnya
orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk
dari pedesaan ke kota-kota, dan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya
berbagai masalah sosial. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan
kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak
kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk
datang ke kota.
g. Sikap
Manusia Terhadap Kota
Dalam menilai kota
terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para lokalis yang
lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka
berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan
cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah,
sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti
perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti
pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan
kreatif.
Dalam filsafat mengenai
kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta
kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi
kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala
kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan
sebagainya.
h. Kota
dan Proses Pengasingan
Dalam masyarakat modern
di kota-kota besar sering terjadi apa yag disebut proses keterasingan
(alienation). Proses terjadi karena orang tidak mempunyai perasaan ikut
memiliki fasilitas, lembaga, dan kesempatan. Sehingga karena itu orang-orang
terasing tersebut merasa tidak menjadi bagian dari masyarakat kota. Perasaan
keterasingan menyebabkan hilangnya rasa tanggungjawab bahkan ketidak perdulian.
Tidak adanya tanggungjawab dan kepedulian tersebut menimbulkan sikap
non-partsipasif.
Itulah sebabnya
kota-kota besar itu cenderung kotor. Sebab warganya tidak merasa ikut
memilikidan karena itu tidak merasa berkewajiban untuk memlihara berbagai
faslitas fisik yang telah disediakan oleh pemerintah. Gejala kekotoran
berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan kemiskinan.
i.
Seluk Beluk Kota Semarang
Beberapa hal yang patut diketahui
mengenai gaya hidup masyarakat kota Semarang:
Makanan
Di Jogja terkenal
dengan angkringan sedangkan di Semarang terkenal dengan kucingan. Kucingan atau
nasi kucing adalah tempat makan yang menyediakan makanan berupa nasi bungkus,
lauk-pauk (sate, ayam,tempe dsb), Biaya makanan disini murah, karena jika
nongkrong di kucingan, maka satu bungkus nasi kucing hanya berkisar 1500 hingga
2 ribu perak. Menunya pun beragam, mulai dari nasi ayam, nasi tempe, nasi remes
dan banyak lagi. Kucingan menjadi alternatif tempat nongkrong tersendiri bagi
muda-mudi di kota Semarang. Masyarakat Semarang rela berlama-lama di kucingan
hanya untuk menikmati minuman dan makanan bersama teman-teman mereka.
yang ada di Jakarta
atau Kalimantan bahkan kota lainnya. Bisa ditebak, perbandingan 3x lipat. Ya
inilah kota Semarang yang terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya.
Lifestyle (fashion)
Mungkin bila orang dari
Jakarta atau kota lain akan terheran-heran dengan penampilan orang Semarang.
Sebagai masyarakat yang terkenal keramahtamahannya ini (sangat halus)
penampilan mereka pun begitu apa adanya.
Ketika di pusat keramaian, mungkin
penduduk keturunan china yang begitu kelihatan menonjolkan fashionnya. Tetapi
jika bertemu dengan orang asli Semarang, mereka akan terlihat santun dengan
style mereka, rapi, apa adanya dan pastinya tidak norak.
Urbanisasi Kota
Semarang
Kota Semarang saat ini
telah mengalami deindustrialisasi. Akibat dari dampak urbanisasi berlebih,
dimana tingkat urbanisasi tidak diimbangi tingkat industrialisasi. Bahkan,
kepadatan penduduk kota Semarang juga telah menyebabkan daya dukung lingkungan
dan daya tampung sosial menjadi rendah. Hal itu dikemukan Dosen Teknik Sipil
Universitas Negeri Semarang, Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si., dalam ujian
terbuka promosi doktor bidang prodi Ilmu Kependudukan Sekolah Pascasarjana UGM
yang berlangsung di ruang auditorium Fakultas Geografi, Sabtu (19/11).
Saratri menegaskan kota
Semarang terjadi kecenderungan urbaniasasi dengan pola menyebar yang ditandai
pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi di kabupaten-kabupaten di sekitar
kota Semarang. Selain, berdampak pada kerusakan lingkungan, kemacetan lalu
lintas dan tingginya angka kejahatan, peran sektor industri dan pertanian di
Kota Semarang cenderung menurun, sebaliknya sektor informal justru semakin
meningkat. “Urbanisasi di kota Semarang justru memunculkan gejala involusi kota
yakni terus meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal dengan produtivitas
rendah, sebagaimana ditunjukkan pada PDRB (produk domestik regional bruto)
sektor industri di kota Semarang yang relatif kecil dibandingkan PDRB di sektor
jasa atau perdagangan,” katanya.
Dia menyebutkan, arus
migrasi masuk ke kota Semarang dilihat dari kelompok umur 25-29 sampai 35-39
baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang cukup tajam. Tahun
1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk laki-laki sekitar 56.409 dan penduduk
perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak
tajam, yakni masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228 untuk perempuan.
Sebagian besar bekerja disektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya
18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Akibat dari dampak
urbanisasi berlebihan tersebut, katanya, pemerintah kota Semarang kelebihan
beban anggaran karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan sosial
ekonomi dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas sebagian
besar warganya yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, imbuhnya, kota
Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang perencanaan kota karena kota
belum overpopulated seperti Jakarta karena ruang terbuka di kota ini masih
cukup luas. “Kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus dilakukan secara
silmultan baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional,
maupun antara pedesaan dan perkotaan,” katanya.
Menurutnya, kebijakan
pembangunan pusat -pusat industri yang padat modal ditinjau kembali, industri
kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu dikembangkan agar para petani
dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini dikedepankan karena hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan pekerja tidak terampil
sangat kecil penghasilannya. Strategi pemanfaatan kota sebaiknya diarahkan
untuk lebih memperjelas hirarkhi kota dengan menghindari dominasi kota Semarang
terhadap daerah di belakangnya tersebar dan diharapkan dapat lebih menyebarkan
hasil-hasil pembangunan.
Kajian
antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai
latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian
masalah yang diteliti yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan,
atau kajian tempat hidupnya komuniti miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam
antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Ø Kajian
atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota
yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
sasaran konseptual dari penelitiannya.
Ø Kajian
atau penelitian yang memfokuskan pada melihat penelitian silang budaya harus
tidak terpaku pada model urbanisme yang telah terjadi di kota-kota di dunia
Barat, tetapi betul-betul harus dapat menggali dan menemukan pola-pola yang
berlaku secara empirik dalam kehidupan kota-kota yang ditelitinya.
Harus
menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan
kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya dengan masyarakat
yang lebih luas
4. Yang
dimaksud dengan Bouded system dan borderless sociesy
Bounded System adalah
menunjukkan bahwa identitas suatu komunitas dikonstruksi berdasarkan atas latar
sosial dan budaya yang didefinisikan dalam wilayah yang dibayangkan memiliki
batas-batas jelas dan tegas. Dalam kajian dalam jalur itu, komunitas dilihat
sebagai bounded system yang batas-batasnya mengacu baik pada wilayah geografis
maupun nilai-nilai yang terbagi dan dimiliki bersama (shared values) yang
menjadi pengikat warga komunitas.
Borderless
Society adalah Arus mobilitas orang, barang, dan jasa yang semakin padat
sebagai dampak dari revolusi teknologi elektronik, komunikasi, dan transportasi
telah mencairkan batas-batas sistem yang mengarah pada terbentuknya borderless
society. Deteritorialisasi itu menciptakan perubahan lingkungan melalui formasi
ruang sosial baru yang mempengaruhi mode adaptasi dan rekonstruksi identitas.
Di satu sisi, setiap komunitas harus beradaptasi secara terus-menerus untuk
dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Sementara di sisi yang lain,
identitas asal yang menjadi bagian integral sejarah kehi-dupan komunitas yang
bersangkutan tidak dapat ditanggalkan begitu saja, dan malahan cenderung
dipertahankan dan dijadi-kan pedoman pada saat komunitas itu menghadapi
proses-proses yang berlangsung di ruang sosial baru (Appadurai, 1994).
0 Comments